Kamis, 11 Maret 2010

Tumpukan sampah dalam hati

Saat di Amerika, apa yang orang bicarakan saat melihat pria berkulit hitam berdiri di depan sebuah bank?
Saat di Indonesia, apa yang orang bicarakan saat melihat pria bersorban membawa tas besar sedang berdiri di depan sebuah pintu mal?
Pastilah semua orang berpikir negatif dan menaruh curiga terhadap orang tersebut.
Namun apakah kita berhak mendefinisikan seseorang hanya dari ciri fisik dan gerak-geriknya saja?

Semua itu berawal dari pendeskripsian sosial sejak dahulu kala.
Jika melihat sesuatu yang memiliki suatu ciri diluar ciri umum maka akan dianggap sebagai orang yang menyimpang.
Padahal, kita semua memiliki hak asasi untuk mengekspresikan hidup sebebas mungkin selama masih patuh terhadap aturan.
Namun, seringkali sesuatu yang "out of track" itu dianggap membahayakan bagi orang sekelilingnya hingga mereka pun menjauhinya.

Di Indonesia, kejadian diatas sering sekali terjadi.
Bahkan bukan hanya dijauhi, tetapi juga dibenci dan dihancurkan.

Contoh kasusnya terjadi pada seorang bapak tua yang tinggal di kawasan Jakarta Barat.
Sebagai seorang pensiunan, kehidupannya dihabiskan hanya tinggal dirumah.
Suatu ketika saat si bapak sedang menonton tv, didengarnya bel pintu yang menandakan ada seorang tamu yang datang.
Bapak itu melihat dari jendela, dan mendapatkan sesosok anak muda yang berpakaian lusuh, celana robek, serta membawa map cokelat yang diapit di lengan.
Melihat anak muda itu, si bapak berpikir bahwa si anak muda pasti akan meminta sumbangan atau sejenisnya.
Dengan pikiran seperti itu, si bapak akhirnya tidak membuka pintunya dan melanjutkan acara tv yang dia tonton.
Anak muda itu terus membunyikan bel sambil sekali-kali memanggil si bapak, tetapi si bapak tetap mengacuhkannya.
Setelah 30 menit berusaha, akhirnya si anak muda pergi dari rumah si bapak.
Tidak lama berselang, bel berbunyi lagi.
Tetapi bukan anak muda itu lagi yang datang, melainkan tetangga si bapak yang juga sudah pensiunan.
Di dalam rumah, tetangga itu bercerita dengan senang hati bahwa dia baru saja mendapat berkah dari Tuhan.
Dia bercerita bahwa ada seorang anak muda yang memberikan sumbangan uang untuk para pensiunan dari lembaga sosial masyarakat daerah Jakarta Barat.
Betapa kagetnya si bapak, karena anak muda yang memberikan sumbangan itu adalah anak muda yang dia tolak kedatangannya tadi.

Masih banyak contoh kasus yang terjadi di Indonesia mengenai pendeskripsian sosial di masyarakat.
Dan jika dilihat, pendeskripsian sosial itu terus menerus berulang bahkan turun temurun.
Alangkah indahnya kehidupan kita jika kita menghapus sedikit demi sedikit pendeskripsian sosial diantara kita.
Semua dapat kita awali dari diri kita masing-masing.
Menghapus pikiran negatif terhadap orang lain.
Menghilangkan sikap tidak menghargai dan tidak percaya terhadap orang lain.
Dan kuncinya adalah membuang tumpukan sampah kejelekan dan kecurigaan di dalam hati kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar